Drama Vaksin Covid-19

Jam di ponselku sudah menunjukkan pukul delapan lewat tiga menit, si Bapak mengajakku tuk segera berangkat menuju Marakas.

Wah, Bapak semangat sekali mau ikutan vaksin. Padahal kemarin kemarin diajak gak pernah mau. Sepertinya Bapak malu kalau sampai gak mau divaksin.

Sebagai Bapak yang baik, harus memberi contoh ke anak-anaknya untuk mengikuti aturan pemerintah mengikuti vaksinasi.

Antrian peserta vaksin sudah mulai mengular. Beberapa bapak TNI berjaga di sekeliling antrian, memberi petunjuk sekaligus mengatur.

Memang, vaksinasi covid 19 di Marakas ini diadakan oleh TNI AL bersama kabupaten Bekasi.

Sambil si Bapak mengantri menunggu giliran, aku memainkan kamera ponsel. Jeprat sana jepret sini, mengabadikan momen warga menanti divaksin.

Tak begitu lama, tiba giliran Bapak menuju meja registrasi untuk dimasukkan datanya ke laptop petugas.

Sampai di meja scrining, sambil ditensi, petugas tanya ini itu ke si Bapak. Ternyata sampai di riwayat penyakit, proses terhenti.

Aku pun maju, ikut bicara kepada petugas bahwa kepala sekolahku saja yang jantungnya sudah dipasang ring, tetap dibolehkan vaksin.

Bapak yang tadinya semangat, seketika berubah mendengar penjelasan salah seorang dokter yang tidak membolehkan Bapak divaksin. Bapak pun dinyatakan gagal vaksin.

Kami pun kembali pulang dengan sia-sia. Sudah bergaya nak divaksin, malah batal. Pak … Pak … kenapa waktu kontrol bulan lalu gak ditanya sama dokternya, boleh vaksin atau gak. Jadi gini deh …

Sampai di rumah, dua bujang langsung digubrak-gubrak suruh bersiap vaksin menggantikan si Bapak.

Namanya juga vaksinasi terbatas, sayang kan kalau jatah bapak hangus.

Dengan pede-nya aku sekalian ngajak anak tetangga. Padahal jatah mengganti punya Bapak cuma satu. Ah, lebih baik mencoba daripada tidak.

Drama pun dimulai. Aku harus menjelaskan ke bagian pendaftaran awal, bahwa anakku menggantikan jatah bapaknya yang tadi tidak jadi.

Tidak semudah yang kubayangkan ternyata. Berkas bekas Bapak diminta, sementara tadi diambil oleh petugas yang memeriksa.

Setelah menunggu ini dan itu, aku disuruh meminta berkas Bapak ke petugas. Dengan langkah seribu, aku langsung ke tkp. Alhamdulillah, tidak pake ribet. Si bungsu pun bisa divaksin menggantikan jatah si Bapak.

Drama berlanjut. Sambil menunggu si bungsu, aku memberanikan diri menemui salah satu TNI yang sedang bertugas.

Aku mengutarakan keinginanku agar si sulung dan temannya yang tadi kuajak, bisa ikut divaksin meski tidak dapat jatah.

Si Bapak TNI pun berbaik hati mengambilkan formulir, namun tanpa stempel. Beliau pun menjelaskan, seolah tau kekhawatiranku.

Formulir pun diisi. Sebagai warga yang baik, aku mengikuti prosedur dong, kembali ke meja pendaftaran di awal. Ditanyalah ini itu karena si sulung memang sebelumnya tidak terdaftar.

Bukan emak-emak namanya kalau menyerah begitu saja. Pikirku, aku sudah dapat formulir kok dari TNI langsung, berarti boleh dong mendaftar. Di meja pendaftaran ditolak, aku harus berpanjang kata lagi menghadapi bapak-bapak petugas, tapi bukan dari TNI.

Ditolak di sana sini, aku masih berjuang mendapatkan jatah vaksin untuk sulung dan temannya. Meskipun di bagian pendaftaran ada ibu mantan RW aku, gak ngaruh pemirsa! Masih ditanyain stempel.

Menolak menyerah, aku kembali menghadapi bapak-bapak terhormat demi mendapatkan stempel. Aku disuruh minta stempel ke kelurahan atau RW.

Aha, aku ingat kalau si Bapak kan petugas RW, pasti bisa pinjam stempelnya. Aku bergegas menuju antrian.

Masih dengan penuh hormat aku menjelaskan ke si bapak TNI yang bertugas. Beliau hanya menyarankan aku untuk mengikuti saja antrian. Kalau ditolak, bilang saja pak RW nya sedang pulang kampung. Hahaha …

Si sulung dan temannya pun lolos hingga meja vaksin. Alhamdulillah lancar jaya. Gak pake ditanya stempel, padahal si Bapak sudah kembali dengan membawa stempel RW.

Huft, vaksin penuh drama seru. Si Emak ini sebenarnya gak pernah mau ribet, selalu patuh. Dikata gak bisa, ya udah nurut pulang. Tapi kali ini si Emak merasa benar.

Ini kan penyelenggaranya TNI, formulir yang didapat pun dari TNI langsung, berarti gak ada yang dilanggar dong. Toh kenyataannya semua lancar gak pake ribet soal stempel.

Hmmm … Indonesiaku… Pemerintah mah programnya bagus banget yak, vaksinasi gratis untuk seluruh warganya. Tapi pelaksanaannya gak semudah itu pak, harus menunggu jatah dari RW, dibagi-bagi lagi ke RT. Bersyukurlah yang mudah memperoleh vaksin.

Semoga setelah mendapat surat layak vaksin dari dokter, si Bapak yang tadi udah semangat, masih tetap semangat. Pastinya juga dapat jatah lagi untuk vaksin, entah kapan. Sabar menunggu ya, pak!

Terima kasih ya, untuk bapak-bapak TNI yang sudah berbaik hati …

Tinggalkan komentar